Kamis, 27 Januari 2011

Memperingati Tragedi Bom Bali, Pembantaian Muslimin di Tobelo-Galela dan Pesantren Walisongo

Oleh Ir. H. Muhammad Umar Alkatiri

Tanggal 12 Oktober 2002, tepat satu tahun lebih satu bulan lebih satu hari setelah peristiwa 11 September 2001 (atau biasa dikenal dengan sebutan WTC 911 yang terjadi di Amerika Serikat), terjadi ledakan dahsyat di Bali. Tiga tahun kemudian, 01 Oktober 2005, terjadi lagi ledakan di pulau yang sama dengan titik lokasi kejadian berbeda.

Bila diperhatikan jarak Bom Bali pertama dengan kedua berselang tiga tahun, ada yang mengkhawatirkan jangan-jangan di tahun 2008, khususnya di bulan Oktober ini, akan terjadi ledakan serupa di pulau yang sama. Namun Alhamdulillah, sampai saat tulisan ini dibuat, kejadian seperti tahun 2002 dan 2005 itu tidak terjadi.

Bali sejak awal 1970-an telah menjadi pulau pariwisata. Namun, industri pariwisata yang berkembang di Bali sama sekali tidak bertitik tolak dari eksotika budaya Bali, tidak sekedar menjual keindahan Bali dengan segala kehidupannya yang bernapaskan Hindu. Tetapi, pariwisata di Bali adalah industri yang menjajakan seks bebas, drug, narkoba, perjudian, dan segala bentuk maksiat lainnya. Di samping itu, industri pariwisata di Bali tidak menghormati tempat-tempat suci umat Hindu Bali. Contohnya, laut menuju Pulau Serangan dengan Pura Sakenan warisan Danghyang Nirartha ditimbun investor, sehingga orang Bali tidak lagi bisa berkunjung untuk menjalani ritual ke Pura Sakenan. Selain itu, di seberang Pura Tanah Lot dibangun lapangan golf dan hotel mewah Nirwana Resort.

Ironisnya lagi, kontribusi dunia pariwisata terhadap upaya pemeliharaan tempat-tempat suci orang Hindu di Bali, amat tidak signifikan. Barangkali, inilah hasil yang dipetik dari diterapkannya pluralisme dan toleransi ala Bali sejak 1970-an.

Bahkan di Bali ada café khusus yang hanya boleh dimasuki wisatawan asing. Untung saja di café tersebut pada pintu masuknya tidak tertulis pesan berupa: Khusus Turis Mancanegara, Pribumi dan Anjing Dilarang Masuk! Dari Bali, seharusnya kita sudah bisa melihat dan merasakan betapa harga diri bangsa kita direndahkan, dengan alasan menghormati tamu (turis mancanegara) yang menyumbangkan devisa. Anak-anak bangsa kita menjadi pelayan bagi turis-turis mancanegara yang sebagian besar di negara asalnya hanya berasal dari kelas sosial rendahan, seperti sopir truk dan sejenisnya.

Kalau tragedi Bom Bali merupakan reaksi sebagian orang atas nama mujahid Islam terhadap kasus pembantaian di Tobelo-Galela (dan Maluku pada umumnya), juga merupakan reaksi terhadap aksi pembantaian di Pesantren Walisongo (dan Poso pada umumnya), mengapa Bali yang dijadikan pilihan? Bukankah di Bali penganut agama Kristen-Katholik hanya minoritas belaka? Bukankah di Bali mayoritas penduduknya beragama Hindu?

Kalau yang dijadikan alasan adalah melawan Amerika, mengapa korban yang jatuh kebanyakan warga Australia? Pada Bom Bali pertama, korban terbesar berasal dari Australia, dan hanya sekitar 7 orang saja yang warga negara Amerika Serikat. Pada Bom Bali kedua, dari 20 korban tewas, lima belas di antaranya adalah warga negara Indonesia; sedangkan dari seratus lebih korban luka-luka, sebagian besar (atau sekitar 67 orang) berasal dari Indonesia. Warga negara Amerika Serikat yang luka-luka hanya empat orang.

Kalau yang dijadikan alasan adalah melawan Amerika dan sekutunya, seharusnya ledakan bom itu di sana: di Amerika, di Australia, di Inggris, dan sebagainya. Bukan di Bali!

Mengapa Bali? Apakah karena para pelaku Bom Bali itu begitu ‘terkesan’ dengan sikap orang Bali yang sedikit-sedikit gemar mengumbar ancaman kosong berupa akan memisahkan diri dari NKRI? Apakah ini menunjukan bahwa orang Bali tidak loyal kepada NKRI, sehingga perlu diberi ‘pelajaran’ menurut pandangan para pelaku Bom Bali? Wallahu’alam.



Mengumbar ancaman

Masih ingat ketika orang Bali pada Januari 2000 turun ke jalan dan mengumbar ancaman akan memisahkan diri dari NKRI, ‘hanya’ karena AM Saefudin mempertanyakan agama Megawati yang –sebagaimana diberitakan The Jakarta Post– terlihat sedang bersembahyang di salah satu Pura di Bali?

Megawati yang beragama Islam bersembahyang di Pura, tentu merupakan sembahyang politik. Artinya Megawati telah dengan sengaja mempolitisasi sembahyang (ritual agama Hindu) untuk kepentingan politiknya, yaitu dalam rangka mencari simpati masyarakat Bali untuk memilih partainya.

Berdasarkan logika akal sehat, seharusnya masyarakat Hindu di mana pun berada –terutama yang berada di Bali– marah kepada Megawati, karena ritual keagamaannya dimain-mainkan oleh politisi. Namun kenyataannya, orang Bali justru marah kepada AM Saefudin, dan bahkan mengumbar ancaman mau memisahkan diri dari NKRI. Ancaman serupa itu juga terjadi di tahun 2006 dan 2008 demi menolak RUU APP yang kini menjadi RUU Pornografi.

Orang Bali menolak RUU APP (atau RUU Pronografi), dengan alasan demi menjaga keragaman dan kesatuan yang ada pada bangsa Indonesia, sekaligus untuk melawan pemaksaan kehendak kelompok Islam karena RUU Pornografi itu dinilai membawa aspirasi agama tertentu (Islam). Benarkah demikian?

Faktanya, pada semester kedua tahun 2006, terjadi kasus pemaksaan mengucapkan salam dengan tata cara agama Hindu terhadap anggota DPRD Bali beragama Islam (dari PPP), sebagaimana dilakukan oleh I Made Kusyadi dari Fraksi PDIP. Kusyadi ketika itu berdalih, bahwa salam Hindu sedang diperjuangkan anggota DPD asal Bali menjadi salam nasional. Alasan ini jelas mengada-ada, karena sejauh ini tidak ada satu bentuk salam dari agama tertentu yang sedang diperjuangkan menjadi salam nasional. Tindakan Kusyadi merupakan bentuk nyata dari politisasi agama, dan menunjukkan bahwa politisi kader PDIP itu belum dewasa, cenderung sektarian dan arogan.

Kalau Bali benar-benar memisahkan diri dari NKRI, apakah akan lebih baik lagi keadaannya? May be yes, may be no. Soalnya, pada saat masih menjadi bagian dari NKRI saja, orang Bali seperti koeli di kampungnya sendiri. Bagaimana kalau mereka berpisah dari NKRI? Apalagi, ketergantungan Bali terhadap orang-orang di luar Bali begitu tinggi. Pelaku bisnis di Bali, sebagian besar berasal dari luar Bali. Termasuk pelaku bisnis di kaki lima dan pasar tradisional, sebagian berasal dari luar Bali (terutama Jawa dan Lombok). Bahkan, untuk memenuhi keperluan ritualnya, pasokan janur, telur bebek (itik), kelapa dan berbagai kembang dipasok dari Jawa Timur. Jika Bali berpisah dari NKRI, jangan-jangan nasibnya tidak lebih baik dari Timor Timur (Timor Leste).

Pada harian BERITA KOTA edisi 17 Maret 2006 (halaman 5), seorang putra Bali yang berdomisili di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, menuliskan opininya berjudul Bali Bukan Pulau Maksiat, sebagai berikut:



BAGI mereka yang masih ingat pelajaran sekolah dasar (SD), khususnya tentang Bali, pastilah masih terngiang dengan istilah Subak, yaitu sistem pengairan sawah berjenjang khas Bali yang menjadi salah satu nilai tambah orang Bali.

Pada dasarnya masyarakat Bali adalah agraris sekaligus artistik. Sawah dan kesenian adalah ciri khas Bali.

Sebelum Orde Baru lahir, Bali mulai mengalami penjajahan kultural, yang menggeser kebiasaan masyarakatnya dari bertani dan berkesenian menjadi pelayan orang asing dengan kedok pariwisata.

Neokolonialisasi yang dialami rakyat Bali justru dianggap sebagai berkat terselubung, baik oleh petinggi agama Hindu, tokoh adat, maupun rakyat pada umumnya. Karena faktor dolar, maka penjajahan bentuk baru ini justru dinikmati dan disyukuri karena dapat menjadi sumber pendapatan utama kawasan Bali.

Rakyat Bali yang sudah tergadaikan harga dirinya ini, masih pula bersikap sombong, yaitu gemar menebarkan ancaman mau memisahkan diri. Padahal, jika Bali lepas dari NKRI, akan semakin leluasa dijadikan obyek eksploitasi dan perbudakan oleh bangsa asing. Sekian dasawarsa telah membuktikan bahwa masyarakat Bali sangat mudah ditaklukkan (dijajah), setidaknya berupa penjajahan kultural melalui pariwisata.

Pariwisata yang lekat dengan maksiat, memang kawasan yang mudah mendatangkan uang. Tanpa kerja keras, dolar mengalir deras. Masyarakat Bali seperti artis muda yang sedang laris, uang datang dengan mudah sehingga lupa diri dan hidup berfoya-foya.

Kelak, Bali akan memasuki usia tua dan sakit-sakitan sehingga tidak diminati turis. Misalnya, akibat diterjang bencana alam yang dahsyat atau penyakit kotor yang mematikan sebagai dampak negatif dari industri pariwisata.

Bagi para tetua Bali, kerinduan akan Bali yang agraris adalah kerinduan yang tak mungkin terwujud. Kini, masyarakat Bali lebih senang dan bangga menjadi pelayan orang asing, lebih senang hidup dan menjadi bagian dari industri maksiat. Padahal, asal-muasal Bali bukanlah Pulau Maksiat tapi Pulau Dewata. (Putu Yasa, Pasar Minggu, Jakarta Selatan)



Namun demikian, memang sangat pantas bila orang Bali marah kepada Ali Ghufron bin Nurhasyim alias Mukhlas, Amrozi bin Nurhasyim, Imam Samudra alias Abdul Azis, dan Ali Imron bin Nurhasyim alias Ale. Mungkin orang Bali menghendaki agar eksekusi mati atas diri mereka segera dilaksanakan.

Tapi, mohon dimengerti juga bila ada orang Bali yang justru ‘berterimakasih’ kepada mereka, karena sakit hatinya terlampiaskan. Sakit hati yang timbul karena salah seorang anak mereka pernah menjadi korban pengidap paedophilia. Sakit hati yang ditimbulkan oleh rasa kesal dan benci karena tempat-tempat suci mereka diinjak-injak turis asing. Sakit hati yang timbul karena anak-anak mereka menjadi kurir narkoba, pengguna narkoba, dan sebagainya.

Orang Bali yang bersikap seperti itu memang amat sangat sedikit sekali alias minoritas. Nah ini merupakan kesempatan bagi para pendukung minoritas seperti Gus Dur untuk membela mereka. Soalnya, Gus Dur khan selama ini selalu mencitrakan diri sebagai pendukung minoritas, antara lain Ahmadiyah. Pada 4 Mei 2008, ketika sejumlah wartawan bertanya mengapa ia membela Ahmadiyah, Gus Dur mengatakan, “Karena mereka kaum minoritas yang perlu dilindungi dan saya tidak peduli mengenai ajarannya.” (lihat tulisan berjudul Gus Dur Bela Ahmadiyah Berdalih karena Minoritas edisi May 8, 2008 1:10 am).

Tak berapa lama kemudian, Gus Dur pun mendapat penghargaan dari Mebal Valor, sebuah LSM (lembaga swadaya masyarakat) yang berbasis di Los Angeles. Siapa tahu kali ini pun Gus Dur bisa mendapat hadiah serupa setelah membela minoritas Bali yang justru ‘berterimakasih’ kepada Amrozi cs karena telah melampiaskan rasa sakit hatinya. Untuk lebih afdholnya, Gus Dur juga sebaiknya membela Amrozi cs, karena mereka itu juga minoritas. Faktanya, mayoritas penduduk Indonesia berprofesi sebagai petani dan nelayan, hanya sedikit saja (minoritas) yang berprofesi sebagai pelaku pemboman. “Belain mereka juga dong, Gus…”



Bom Bali Pertama

Bom Bali Pertama yang terjadi pada hari Sabtu tanggal 12 Oktober 2002, sekitar pukul 23.10 WITA, selain menelan 202 korban jiwa, juga menyebabkan sekitar 350 orang lainnya mengalami luka-luka berat dan ringan. Ketika itu, terjadi tiga ledakan sekaligus, dua diantaranya terjadi di jalan Legian, Kuta (Bali), satu lainnya di Renon dekat Konsulat AS (jalan Raya Puputan).

Ledakan yang terjadi di jalan Legian, khususnya di Paddy’s Pub dan Sari Club, menyebabkan kedua bangunan tersebut porak poranda, dan beberapa bangunan di sekitarnya rusak berat dan ringan. Menurut cacatan pihak kepolisian, korban terbesar berasal dari Australia (sekitar 83 orang), diikuti dengan Indonesia (sekitar 37 orang), WN Inggris (sekitar 28 orang). Untuk mengenang tragedi ini, dibuat sebuah ‘bangunan bersejarah’ yang diberi nama Monumen Ground Zero di Legian, Kuta, Bali.

Dari kasus Bom Bali Pertama ini, aparat kepolisian menetapkan tersangka utama yang terdiri dari 4 orang, yaitu Ali Ghufron bin Nurhasyim alias Mukhlas (kelahiran Tenggulun, Solokuro, Lamongan, Jawa Timur tanggal 02 Februari 1960), divonis Hukuman Mati; Amrozi bin Nurhasyim (kelahiran Tenggulun, Solokuro, Lamongan, Jawa Timur tanggal 05 Juni 1962), divonis Hukuman Mati; Imam Samudra alias Abdul Azis (kelahiran Serang, Banten tanggal 14 Januari 1970), divonis Hukuman Mati, dan Ali Imron bin Nurhasyim alias Ale (kelahiran Tenggulun, Solokuro, Lamongan, Jawa Timur tanggal 02 Januari 1979), divonis Penjara Seumur Hidup. Persidangan atas diri mereka sudah berlangsung sejak 12 Mei 2003.

Genap setahun setelah terjadinya tragedi Bom Bali pertama, 12 Oktober 2003, diadakan peringatan, yang tidak hanya berlangsung di Bali, tetapi antara lain di Inggris. Bisa dibaca, korban Bom Bali pertama dari Inggris menduduki peringkat ketiga setelah Australia dan Indonesia, yaitu mencapai 28 orang korban. Sedangkan warga negara Amerika yang menjadi korban mencapai 7 orang (peringat ke-4).

Di Inggris, Menteri Luar Negeri Jack Straw (kala itu) bergabung bersama sekitar 800 orang di Gereja St Marin, London, memperingati satu tahun tragedi Bom Bali. Peringatan setahun Bom Bali kala itu diorganisir Kelompok Korban Bom Bali (BBVG) di Inggris. Mereka selain menyanyikan himne, pembacaan puisi, menaburkan mawar putih, juga menyalakan lilin-lilin di halaman gereja, serta menerbangkan sebanyak 202 balon sebagai representasi dari korban yang meninggal. Tidak hanya Jack Straw, acara itu juga dihadiri oleh Duke of Kent sebagai wakil Ratu Inggris, dan Menteri Kebudayaan Tessa Jowell.

Pada peringatan tahun keempat tragedi Bom Bali pertama, Pangeran Charles (putra mahkota kerajaan Inggris) meresmikan tugu peringatan di St James Park, Westminster, London, Kamis (12 Okt 2006). Peresmian itu diawali dengan pembacaan sambutan oleh Menteri Negara urusan Budaya Media dan Olahraga Tessa Jowell, yang antara lain mengatakan bahwa tugu peringatan tersebut merupakan ungkapan rasa kepedihan dan kesetiakawanan.

Setiap tahun, tragedi Bom Bali pertama ini diperingati tidak hanya di sekitar Monumen Ground Zero yang terletak di Legian, Kuta, tetapi juga di kantor Konsulat Australia di Denpasar. Menjelang malam 12 Oktober 2008, sekitar 100 peselancar melaksanakan peringatan serupa di Pantai Kuta, mereka melaksanakan kegiatan Peddel for Peace (dayung untuk perdamaian), pelepasan tukik dan burung merpati serta perenungan perdamaian di Pantai Kuta.

Di sekitar Monumen Ground Zero pada 12 Oktober 2008 lalu, peringatan ini ditandai dengan pemasangan lilin di sekitar monumen. Ketika itu tampak hadir Gubernur Bali I Made Mangku Pastika, yang pernah menjabat sebagai Ketua Tim Investigasi peristiwa Bom Bali Satu. Sejak pagi keluarga korban dan masyarakat maupun wisatawan asing yang sedang berada di Bali menyempatkan diri mengunjungi monumen ini untuk berdoa ataupun meletakkan karangan bunga.

Dari tragedi Bom Bali pertama ini, tidak hanya berdiri sebuah monumen, tetapi juga berdiri sebuah lembaga bernama Yayasan Paguyuban Isana (Istri Suami Anak) Dewata, yang diketuai oleh Raden Supriyo Laksono (alias Sony). Melalui paguyuban ini, pemerintah memberikan tunjangan kepada keluarga korban sampai tahun ketiga setelah peristiwa ledakan terjadi. Setelah itu, sejumlah ekspatriat asal Australia yang membentuk yayasan bernama Kuta International Disaster Scholarship (KIDS), berperan membantu kelangsungan hidup dan pendidikan anak-anak korban bom Bali. Setiap anak dipenuhi keperluannya, seperti uang komite, SPP, buku, sepatu, dan perlengkapan lainnya. Bantuan berupa uang dari KIDS diberikan setiap enam bulan sekali, dan akan berlangsung sampai anak-anak tersebut lulus kuliah.



Bom Bali Kedua

Sedangkan Bom Bali Kedua terjadi pada hari Sabtu, tanggal 01 Oktober 2005, sekitar jam 23:00 waktu setempat, di tiga lokasi sekaligus, yaitu di Kafe Menega (Jimbaran, Bali), Kafe Nyoman (Jimbaran, Bali), dan Raja’s Bar & Rest (di Kuta Square). Dari tragedi yang menewaskan 20 orang ini, sebagian besar korban (15 orang) berasal dari Indonesia, selebihnya warga negara Australia (4 orang), serta 1 warga negara Jepang.

Rabu 01 Oktober 2008, peringatan Bom Bali Kedua digelar di halaman Konsulat Australia di Bali, di Jl Mpu Tantular, Denpasar. Peringatan ini dihadiri oleh Konjen Australia Bruce Cowled, Konjen Jepang Eiichi Suzuki, Gubernur Bali Made Mangku Pastika, serta sekitar 20 korban dan keluarga korban Bom Bali Kedua asal Australia dan Indonesia ini, diliputi suasana hening diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan lagu Kebangsaan Australia. Kemudian diikuti dengan membacakan nama korban yang meninggal. Kemudian, satu per satu para konjen, korban dan keluarganya meletakkan bunga di altar.

Di bekas Raja’s Bar & Rest, peringatan Bom Bali Kedua berlangsung setiap tahun. Lokasi itu kini bernama Raja’s Kafe, dan menjadi toko pakaian. Karyawan Raja’s duduk melingkar, menyalakan lilin sambil memanjatkan doa.

Pada Bom Bali Kedua digunakan jenis bom melayang, yaitu bom bunuh diri yang dimasukkan ke dalam tas punggung, kemudian diledakkan, sehingga menghancurkan pelakunya. Sebenarnya pada kasus Bom Bali Pertama, modus ini juga dipraktekkan, yaitu di lokasi Paddy’s Café.

Oleh karena itu, pelaku utama Bom Bali Kedua ini, pada mulanya tidak bisa diidentifikasi, karena ia hancur bersama dengan bom yang dibawanya. Seiring perjalanan waktu, berhasil diidentifikasi salah satu pembawa bom melayang ini diduga bernama Salik Firdaus. Meski demikian, dari kasus ini berhasil ditetapkan empat terdakwa, yaitu Abdul Azis, Dwi Widiyarto, dan Anif Solchanudin, dan Mochamad Cholily. Tiga yang pertama dituntut Jaksa Penutut Umum (JPU) 10 tahun penjara, sedangkan Cholily dituntut lebih berat yaitu 15 tahun penjara karena terlibat langsung dalam bom Bali II.

Bila dibandingkan dengan peringatan Bom Bali Pertama, yang kedua memang kurang semarak. Mungkin karena jumlah korban tewas yang terjadi pada tragedi Bom Bali Kedua ‘hanya’ 20 orang, itu pun sebagian besar orang Indonesia sendiri. Namun demikian, masih mending bila dibandingkan dengan kasus lain yang korbannya seratus persen orang Indonesia (mayoritasnya Muslim), sebagaimana terjadi pada kasus pembantaian di Tobelo (Desember 1999-Januari 2000), dan Pesantren Walisongo (28 Mei 2000).

Meski korban pembantaian yang terjadi di Tobelo-Galela dan Pesantren Walisongo jumlahnya jauh lebih banyak dari korban Bom Bali Pertama, namun hingga kini tidak ada monumen peringatan yang didirikan di lokasi tersebut. Bahkan mungkin tidak ada paguyuban atau lembaga bantuan yang menyantuni korban di lokasi tersebut.

Bagaimana seandainya di lokasi-lokasi tempat berlangsungnya pembantaian terhadap umat Islam didirikan monumen berisikan nama-nama korban, dan dibaca setiap tahun, untuk mengingatkan kepada kita betapa kejamnya orang Kristen dan Katholik. Selain nama-nama korban, akan lebih lengkap lagi bila pada monumen peringatan itu diabadikan juga nama tokoh-tokoh yang terlibat pembantaian, termasuk Tibo cs tentunya.



Tragedi Pembantaian di Tobelo

Tobelo merupakan sebuah kota kecamatan di Maluku Utara. Tragedi pembantaian Tobelo merupakan rangkaian kasus Ambon Berdarah yang terjadi sejak 19 Januari 1999. Kasus Tobelo sendiri berlangung mulai 24 Desember 1999 hingga 7 Januari 2000. Menurut catatan Tim Investigasi Pos Keadilan Peduli Ummat, 688 orang tewas dan 1.500 dinyatakan hilang.

Tragedi pembantaian di Tobelo ini, bermula ketika Sinode GMIH (Gereja Masehi Injil di Halmahera) mengkoordinir pengungsian umat Kristen ke Tobelo, yang jumlahnya mencapai 30.000 orang, yang dilakukan secara bertahap, sejak pertengahan November hingga awal Desember 1999. Puncaknya, pada Jumat 24 Desember 1999 malam (menjelang Hari Natal 25 Desember 1999) dengan beberapa buah truk, telah diangkut ratusan warga Kristen dari Desa Leleoto, Desa Paso dan Desa Tobe ke Tobelo. Dengan alasan untuk pengamanan gereja. Warga Kristen yang diangkut tersebut menggunakan atribut lengkap (seolah-olah mau perang), seperti kain ikat kepala berwarna merah, tombak, parang dan panah.

Mengetahui gelagat yang kurang baik dari warga Kristen tersebut, umat Islam Tobelo mulai merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Saat itu umat Islam sedang dalam suasana menjalankan ibadah shaum ramadhan. Akhirnya pada 26 Desember 1999, pecahlah pembantaian yang dikesankan adanya kerusuhan, konflk horizontal. Padahal, sebelumnya tidak ada konflik apa-apa. Tragedi ini konon dipicu oleh adanya persoalan sepele berupa pelemparan batu terhadap rumah milik Chris Maltimu seorang purnawirawan polisi. Rupanya pelemparan terhadap rumah Chris Maltimu itu dijadikan trigger untuk aksi pembantaian yang sudah dirancang sebelumnya.

Menurut Ode Kirani, warga muslim dari desa Togoliwa, kecamatan Tobelo, Halmahera, pada 27 Desember 1999, saat warga desa sedang menjalankan ibadah puasa, tanpa diduga sebelumnya ribuan masa kristen yang berasal dari desa tetangga (antara lain, Telaga Paca, Tobe, Tomaholu, Yaro, dan lain-lain) menyerang desa Togoliwa di saat subuh. Akibat serangan mendadak tersebut ribuan warga muslim di desa tersebut menemui ajal. Kebanyakan dari mereka terbunuh saat berlindung di masjid. (Ambon, Laskarjihad.or.id 16 03 2001).

Rabu, 29 Desember 1999, di Mesjid Al Ikhlas (Kompleks Pam) tempat diungsikanya para ibu dan anak-anak, terjadi pembantaian terhadap sekitar 400 (empat ratus) jiwa. Menurut penuturan saksi mata, ada korban yang sempat jatuh dicincang dan dijejerkan kepala mereka di ruas jalan. Ada juga beberapa wanita yang dibawa ke Desa Tobe (sekitar 9 KM ) dari Desa Togoliwa, kemudian dikembalikan dalam keadaan telanjang. Modus operasi yang dilakukan oleh kelompok merah mula-mula melakukan pemboman kemudian dilanjutkan dengan pembakaran, sehingga tidak ada satu pun yang lolos dari sasaran mereka.

Menurut sebuah sumber, total korban di Tobelo dan Galela mencapai 3000 jiwa, 2800 di antaranya Muslim. Namun demikian, angka yang diakui Max Marcus Tamaela yang kala itu menjabat sebagai Pangdam Pattimura adalah 771 jiwa. Meski angka itu masih jauh dari kenyataan, namun masih jauh lebih banyak dibanding dengan angka yang diakui Gus Dur yaitu ‘hanya’ lima orang saja.

Ketika pembantaian Tobelo terjadi, Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI. Bila menurut penglihatannya korban Tobelo-Galela hanya lima orang saja, kita harus maklum. Karena, pertama, Gus Dur itu pembela kaum minoritas. Kedua, penglihatannya memang terganggu. Kala itu, Menkopolkam dijabat oleh Wiranto, dan Panglima TNI dijabat oleh Widodo AS. Sayangnya, posisi mereka saat itu tidak bisa memperbaiki kualitas penglihatan Gus Dur terhadap kasus pembantaian umat Islam di sana. Padahal mereka juga beragama Islam.

Hajjah Aisyah Aminy, SH, yang kala itu menjabat sebagai anggota Komnas HAM, menyesalkan sikap aktivis LSM yang selama ini dikenal sebagai pejuang keadilan masyarakat, namun membisu ketika umat Islam yang jadi korban. Aisyah juga menyesalkan sikap media massa yang kurang antusias memberitakan peristiwa di Maluku itu. Tapi kalau yang mati adalah teman mereka sendiri, meski hanya satu orang seperti Munir, mereka heboh bukan main dengan membawa-bawa alasan pelanggaran HAM sampai ke hadapan Bush segala.

Bila kita mendasarkan pada angka yang diakui Tamaela, yaitu 771 jiwa, jumlah itu pun masih jauh lebih banyak dari korban Bom Bali Pertama dan Kedua. Apalagi bila ditambah dengan korban pembantaian yang dilakukan Tibo cs terhadap warga pesantren Walisongo, jumlah koran Bom Bali secara keseluruhan masih jauh lebih kecil. Namun perhatian dunia, kalangan LSM, kalangan pers, dan pemerintah Indonesia sendiri, kurang hirau bahkan cenderung mengabaikan korban Tobelo-Galela dan Poso (termasuk warga Pesantren Walisongo)



Pembantaian Di Pesantren Walisongo

Pembantaian terhadap warga Pesantren Walisongo, merupakan rangkaian dari kekejaman serial yang terjadi di Poso. Kasus Poso sendiri sudah terjadi sejak 25 Desember 1998, di saat-saat umat Islam sedang menjalankan ibadah Shaum Ramadhan 1419 H. Sedangkan pembantaian terhadap warga pesantren Walisongo, berlangsung pada hari Minggu tanggal 28 Mei 2000. Hidayatullah.com dalam salah satu laporannya menuliskan:



Puluhan warga Pesantren Walisongo itu dibariskan menghadap Sungai Poso. Mereka dihimpun dalam beberapa kelompok yang saling terikat. Ada yang tiga orang, lima, enam atau delapan orang. Para pemuda digabungkan dengan pemuda dalam satu kelompok. Tangan mereka semua terikat ke belakang dengan kabel, ijuk, atau tali rafiah yang satu dengan lainnya saling ditautkan.

Sebuah aba-aba memerintahkan agar mereka membungkuk. Secepat kilat pedang yang dipegang para algojo haus darah itu memenggal tengkuk mereka. Bersamaan dengan itu, terdengar teriakan takbir. Ada yang kepalanya langsung terlepas, ada pula yang setengah terlepas. Ada yang anggota badannya terpotong, ada pula badannya terbelah. Darah segarpun muncrat. Seketika itu pula tubuh-tubuh yang tidak berdosa itu berjatuhan ke sungai.

Bersamaan dengan terceburnya orang-orang yang dibantai itu, air sungai Poso yang sebelumnya bening berubah warna menjadi merah darah. Sesaat tubuh orang-orang yang dibantai itu menggelepar meregang nyawa sambil mengikuti aliran sungai. Tidak semuanya meninggal seketika, masih ada yang bertahan hidup dan berusaha menyelamatkan diri. Namun regu tembak siap menghabisi nyawa korban sebelum mendapatkan ranting, dahan, batang pisang, atau apapun untuk menyelamatkan diri.

Itulah salah satu babak dalam tragedi pembantaian ummat Islam di Poso, Sulawesi Tengah beberapa waktu lalu. Warga Pesantren Walisongo merupakan salah satu sasaran yang dibantai. Di komplek pesantren yang terletak di Desa Sintuwulemba, Kecamatan Lage, Poso ini tidak kurang 300-an orang yang tinggal. Mulai dari ustadz, santri, pembina, dan istri pengajar serta anak-anaknya.

Tidak satupun orang yang tersisa di komplek pesantren itu. Sebagian besar dibantai, sebagian lainnya lari ke hutan menyelamatkan diri. Bangunan yang ada dibakar dan diratakan dengan tanah. Pesantren Poso hanya tinggal puing-puing belaka.



Dari tragedi pembantaian ini, aparat menetapkan tiga tersangka utama Fabianus Tibo (saat itu berusia 60), Dominggus da Silva (saat itu berusia 39), dan Marinus Riwu (saat itu berusia 48). Ketiganya menjalani hukuman mati secara serentak pada tanggal 22 September 2006, Jumat dinihari pukul 01.45 WITA. Eksekusi mati dilaksanakan di Desa Poboya, Palu Selatan oleh tiga regu tembak Brimob Polda Sulawesi Tengah.



Sebelum dieksekusi mati, Tibo cs pernah mengungkapkan peranan 16 tokoh penting Poso dan keterlibatan Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) yang berpusat di Tentena –kota kecil di tepian Danau Poso– secara langsung dalam kerusuhan Poso. Sayangnya, hingga kini mereka yang memegang jabatan di Majelis Sinode tidak pernah diperiksa polisi.



Sebuah lembaga penegakan syari’ah pada hari Rabu tanggal 14 Desember 2005, pernah mewawancarai Fabianus Tibo di Lembaga Pemasyarakatan Fetobo, dan mentranskrip pernyataan Tibo perihal keterlibatan orang-orang penting di belakang tragedi pembantaian Poso, sebagai berikut:

Supaya bapak-bapak bisa tahu bahwa inilah yang sebenarnya. Kenapa dari dulu semua pengacara kami tutup, tidak bisa kami mengungkapkan semuanya, kami tidak boleh bicara.

Sampai di kantor pengadilan pun tidak bisa kami berbicara, selalu ditekan terus. Kenapa? Karena mereka takut, karena ada yang kami akan ungkapkan semuanya itu.

Jadi, saya ingin ungkapkan, supaya bapak-bapak tahu, kenapa saya harus berada di Poso.

Karena Yanis Simangunsong, mungkin bapak-bapak sudah tahu itu nama 16 orang, Yanis Simangunsong yang datang ke Beteleme, waktu itu belum Kabupaten, masih Kecamatan Lepo. Jadi, Yanis datang ke rumah saya dia katakan, “Om, Gereja dengan Suster, Pastur, dengan anak sekolah di sana orang Islam akan bunuh semua.”

Lalu saya katakan, “Bahasamu itu kamu bisa bertanggungjawab, kalau tidak benar saya lapor polisi.” Dia katakan, “Ya, kalau om percaya atau tidak ya terserah. Tetapi saya yang katakan itu benar.”

Apa yang terjadi? Karena dia provokasi seluruh orang yang ada –sekarang sudah kabupaten ya– di Kabupaten Morowali, mulai dari Beteleme Kolongale sampai Wuku (?). Dimana di situ ada umat Kristen, di situlah Yanis Simangunsong provokasi, sehingga di sana hampir tejadi di pasar Beteleme waktu itu, karena dengan provokasinya, sehingga apa, Islam yang ada di pasar Beteleme ketakutan yang lain lari.

Selain Yanis Simangunsong, beberapa nama yang termasuk ke dalam 16 tokoh penting yang berperanan penting terhadap terjadinya pembantaian di Poso, sebagaimana disebutkan Tibo adalah: L Tungkanan, Eric Rombot, Mama Wanti, Luther Maganti, Drs. J. Santo, J. Kambotji, Drs. Sawer Pelima, Pendeta Renaldy Damanik, Paulus Tungkanan, Angki Tungkanan, Lempa Deli, Yahya Patiro (mantan Sekab Poso). Mantan Bupati Poso dua periode (1974-1984) Letkol Purn Drs. R.P.M.H Koeswandhi, Sth yang kini berdomisili di Jakarta, diduga ikut bermain api dan memanaskan situasi.

Tibo cs juga pernah menyebut beberapa nama yang disebutnya dengan panggilan “jenderal” seperti jenderal H, jenderal R dan jenderal T. Jenderal H menurut pengakuan Tibo cs berperan sebagai aktor intelektual di balik pertikaian berdarah di Poso. Sebagaimana dikatakan oleh Kaditserse Polda Sulteng (ketika itu) Superintendent Andi Ahmad Abdi, sesuai pemeriksaan terhadap Tibo dkk, ia membenarkan nama “H” disebut-sebut sebagai salah seorang konseptor penyerangan kantong-kantong permukiman muslim di lima kecamatan dalam wilayah Kabupaten Poso, termasuk di Kota Poso sendiri (lihat Antara 9 Agustus 2000, juga Kompas 10 Agustus 2000).



Dukungan Untuk Tibo cs dan Tekanan Vatikan

Sebelum akhirnya dieksekusi, Tibo cs mendapat dukungan luas dari dalam dan luar negeri. Semula, pelaksanaan hukuman mati atas Tibo cs direncanakan berlangsung Sabtu dinihari, tanggal 12 Agustus 2006 pukul 00.15 waktu setempat. Namun karena adanya surat tekanan Vatikan itu, eksekusi mati ditunda hingga 22 September 2006. Sebagaimana diakui Wakil Presiden Muhamad Jusuf Kalla, bahwa pada 12 Agustus 2006 ada surat dari Paus Benediktus XVI dan surat dari sejumlah uskup yang meminta Tibo cs tidak dieksekusi.

Faktanya, menjelang eksekusi mati Tibo cs memang banyak bermunculan berbagai suara yang berusaha menghalang-halangi dilaksanakannya ekesekusi mati bagi Tibo cs yang secara sadis dan biadab telah membantai komunitas Muslim Poso, khususnya warga Pesantren Walisongo Desa Sintuwulemba, Kecamatan Lage. Mereka memposisikan Tibo cs seolah-olah sebagai korban kesesatan hukum, korban kesesatan peradilan, sehingga dengan lantang mereka menyuarakan penolakan eksekusi mati atas Tibo dkk. Mereka sama sekali tidak pernah menyinggung para korban yang telah dibantai secara sadis, terencana, dan biadab.

Aloys Budi Purnomo, Rohaniwan dan Pemimpin Redaksi Majalah INSPIRASI yang berpusat di Semarang, mengungkapkan isi hatinya berupa opini, bahwa “…Kasus yang menjerat Tibo cs memang penuh dengan kontroversi ketidakadilan. Mereka menjadi korban peradilan yang sesat. Mereka menjadi tumbal ketidakadilan dan proses hukum yang inskonstitusional…” (Kompas, Sabtu, 23 September 2006).

Tokoh intelektual umat Katolik Indonesia Frans Magnis Suseno saat mengunjungi Tibo dkk di Lembaga Permasyarakatan Kelas II A Palu (pertengahan April 2006) mengatakan, pemerintah Indonesia tidak boleh gegabah mengeksekusi Tibo dkk karena saat ini banyak pertimbangan yang muncul yang menunjukkan adanya kemungkinan bahwa Tibo dkk tidak bersalah. Frans juga mengatakan, aparat hukum tidak dapat melakukan eksekusi hanya karena semua prosedur hukum telah dijalani oleh Tibo dkk.

Gus Dur salah satu tokoh sepilis (sekulersime, pluralisme agama, dan liberalisme), bersuara sama dengan Theo Sambuaga (tokoh Golkar) dan Pendeta Nico Gara dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) Tomohon. Mereka antara lain mengatakan, Tibo cs merupakan saksi mahkota, bila dieksekusi, maka mata rantainya putus. Theo Sambuaga menambahkan, jika Tibo sudah dieksekusi, sedangkan novum itu betul bahwa mereka bukan dalang kerusuhan Poso, akibatnya akan sangat fatal dari segi hukum dan penegakan hak asasi manusia (HAM). Oleh karena menurut Akbar Tandjung, sebaiknya eksekusi terhadap Tibo dan dua kawannya ditunda demi kepentingan mengungkap aktor intelektual yang sebenarnya dalam peristiwa kerusuhan Poso. Aktor intelektual yang dimaksud adalah sejumlah 16 nama yang pernah dinyatakan secara sepihak oleh Tibo sebagai aktor utama.

Mereka sama sekali tidak pernah berada di sisi korban yang telah dianiaya sedemikian rupa. Pernahkah mereka menyantuni para janda korban pembantaian Tibo dkk? Sama sekali tidak! Ini menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang mendukung kekejaman, mendukung kebiadaban, mendukung perbuatan barbar, mendukung upaya-upaya yang berorientasi disintegratif.

Cobalah perhatikan, mereka yang dulu menolak hukuman mati terhadap Tibo cs dengan dalih “kematian merupakan hak Tuhan” dan berbagai dalih lainnya, sudah bisa dipastikan tidak akan bersuara apa-apa ketika rencana eksekusi mati terhadap pelaku Bom Bali direalisasikan. Justru, mereka cenderung mendorong pemerintah secepatnya melaksanakan eksekusi tersebut. Bahkan ada yang secara emosional berpendapat, “bila perlu termasuk keluarganya sekalian dihukum mati.” Standar ganda seperti itu memang perilaku khas mereka, orang-orang yang sok demokratis, orang-orang yang sok humanis, dan sok moralis. Hipokrit.



Kasus Corby dan Bali Nine

Australia juga menganut standar ganda, misalnya dalam kasus Schapelle Leigh Corby, gadis warga negara Australia yang ditangkap di Bandara Ngurah Rai Bali pada 8 Oktober 2004 karena di dalam tasnya terdapat 4,2 kg mariyuana.

Ketika memasuki tahapan persidangan, pemerintah Australia meminta agar kepada Corby tidak dijatuhi hukuman mati. Beberapa hari sebelum sidang Corby, tampak lilitan pita warna hijau muda di pohon-pohon pinus sepanjang jalan di depan gedung Pengadilan Negeri Denpasar, sebagai dukungan moral kepada Corby.

Di tahun 2005 (tepatnya tanggal 17 April), sembilan orang penyelundup heroin seberat 8,3 kilogram ditangkap di Denpasar, Bali. Tiga di antaranya warga Australia. Mereka menjadikan Bali sebagai tempat transit sebelum bertolak ke Australia. Kasus ini dikenal dengan sebutan The Balinine.

Senin 11 Agustus 2008 lalu, Stephen Smith (Menteri Luar Negeri Australia) menjumpai Menteri Luar Negeri Hasan Wirayudha di Jakarta. Salah satu tujuannya adalah melobi pemerintah Indonesia untuk memberikan pengampunan terhadap tiga terpidana mati warga negara Australia yang tersangkut kasus The Bali Nine.

Pemerintah Australia tidak setuju hukuman mati diberlakukan terhadap diri warganya, meski jelas terbukti menyelundupkan heroin. Namun sikap itu belum tentu tertuju kepada selain warga negaranya. Pada satu sisi mereka berargumentasi menolak hukuman mati (atas warganya), namun mereka pada sisi lain justru mendorong dilaksanakannya hukuman mati untuk Amrozi cs (pelaku Bom Bali).

Sebelum bertolak ke Jakarta, Stephen Smith sehari sebelumnya (10 Agt 2008) diwawancarai Sydney Morning Herald. Ketika itu ia mengatakan, “… ketika warga Australia di luar negeri dihukum karena melakukan kejahatan kemudian dipidana mati, maka kami akan melakukan upaya representasi atas nama warga negera Australia. Namun, ketika hukuman tersebut dijatuhkan kepada non warga Australia, maka kami akan melakukan penilaian secara kasuistik.”



Kebohongan Corby

Pada tahun 2004-2005, pada saat kasus Corby mulai ditangani aparat keamanan dan hukum Indonesia, media cetak dan elektronika Australia melalui pemberitaannya berupaya sedemikian rupa membentuk opini bahwa Corby tidak bersalah. Cara-cara mereka sama persis dengan para pendukung Tibo cs ketika mereka memberikan pembelaan agar Tibo cs tidak dihukum mati.

Akibat pemberitaan media cetak dan elektronik Australia yang membela Corby, maka KBRI Canberra dan kantor-kantor perwakilan RI lainnya menjadi sasaran kekesalan warga Australia. Beberapa bentuk kekesalan dari simpatisan Corby ketika itu diekspresikan berupa mengirimkan paket berisi “serbuk putih” yang sempat menghebohkan aparat keamanan dan diplomat RI di KBRI Canberra. Selain itu, terjadi berbagai bentuk vandalisme terhadap properti milik KJRI Sydney. Bahkan, Konsulat RI di Perth, Australia Barat, menerima surat bertuliskan tangan yang berisi ancaman: “Jika Schapelle Corby tidak segera dibebaskan, anda semua akan menerima setiap peluru ini menembus otak.”

Saat itu opini publik Australia memang masih amat sangat berpihak kepada Corby. Namun beberapa tahun kemudian, 22 Juni 2008, stasiun TV Channel Nine di Australia mulai membuka tabir kebohongan Corby. Ratapan memelas Corby saat memasuki tahapan proses persidangan, yang selama ini menjadi sumber dukungan masyarakat Australia, ternyata merupakan rekayasa semata.

Channel Nine selama tiga setengah tahun membuat film dokumenter berjudul Schapelle Corby: The Hidden Truth, dengan durasi 120 menit. Ternyata, menurut film dokumenter itu, ucapan memelas Corby yang berhasil menarik simpati publik Australia selama bertahun-tahun itu, merupakan sesuatu yang direkayasa sedemikian rupa oleh Corby ketika ia dikunjungi Ron Bakir, pendukung setianya saat itu. Bahkan melalui kamera tersembunyi, tim peliput Channel Nine berhasil merekam sebuah adegan ketika Corby sedang berlatih mengucapkan kata-kata memelas itu: “Help me… Help me Australia!”

Juli 2008, misteri kepemilikan 4,2 kg mariyuana yang ditemukan petugas Indonesia di dalam sarung tas papan selancar Schapelle Corby pada tahun 2004 lalu itu, mulai terkuak jelas. Ternyata, pemiliknya adalah Michael Corby, ayah Schapelle Leigh Corby sendiri.

Sepupu ayah Corby, Alan Trembath, mengungkapkan bahwa Michael Corby pernah menawarkan dirinya bisa mendapat imbalan sebesar 80 ribu dolar Australia jika bersedia menyelundupkan mariyuana ke Bali dengan kapal pesiar. Trembath juga mengungkapkan, keterlibatan Michael Corby dalam urusan perdagangan dan penyelundupan mariyuana sudah berlangsung sejak tahun 1980-an. Oleh karenanya, Trembath punya keyakinan kuat tentang keterlibatan Schapelle Corby dalam kasus penyelundupan mariyuana ke Bali di tahun 2004, karena sepanjang hidupnya Schapelle Corby sudah akrab dengan bisnis mariyuana yag dijalankan ayahnya.

Jika keluarga Corby sudah memulai bisnis haram itu sejak tahun 1980-an dan baru tertangkap di tahun 2004, berarti sudah sekitar dua dasawarsa mereka berkecimpung di bisnis haram ini. Bisa dibayangkan, berapa banyak generasi muda kita yang telah menjadi korban keluarga Corby melalui bisnis mariyuananya. Jumlahnya boleh jadi jauh lebih banyak dari korban Bom Bali.

Kemungkinan besar keluarga Corby hanyalah salah satu saja dari pelaku bisnis haram asal Australia. Tentu masuk akal bila ada yang menduga masih banyak “Corby-corby” lain yang hingga kini belum tertangkap. Pertanyaannya: “Berapa banyak korban mariyuana yang dihasilkan oleh mereka sepanjang dua atau tiga dasawarsa ini?” Tentu jumlahnya jauh lebih banyak dari korban Bom Bali.

Bila ada satu saja warga Australia terancam hukuman mati, pemerintah dan masyarakatnya langsung tampil memberikan dukungan dan pembelaan. Tapi bila ada ratusan pemuda kita yang mati secara fisik dan “mati” secara psikis akibat narkoba yang diselundupkan warga Australia, pemerintah dan masyarakat kita diam saja. Malahan makhluk sejenis “Corby” ini cenderung dimanjakan karena diposisikan sebagai turis yang menghasilkan devisa. Selain korban narkoba, masih ada korban lain yaitu korban kebuasan nafsu pengidap paedhophilia. Berapa banyak tunas bangsa kita menjadi korban pengidap paedophilia di Bali, di Yogyakarta, dan kota-kota wisata lainnya? Pastinya, jauh lebih banyak dari korban Bom Bali. (haji/tede/mua)

Diambil dari http://www.nahimunkar.com/?p=161
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar