Anjing peliharaan, seperti juga manusia, telah berperan sebagai tuan rumah bagi para kutu ini dan cukup lama berevolusi untuk mampu melawan kudis.
Seperti yang biasa ditampilkan dalam Halloween, kisah-kisah monster dan mahkluk-mahkluk menyeramkan berlimpah di situ. Di antaranya yang paling menakutkan adalah binatang legendaris yang dikenal sebagai chupacabras.
Tetapi iblis yang sebenarnya bukanlah binatang tanpa bulu dan bertaring yang diduga digunakan untuk menyerang dan meminum darah hewan ternak. Ada mahkluk-mahkluk sangat kecil berkaki delapan, yang mengubah hewan liar sehat menjadi chupacabras, demikian yang dikatakan seorang ahli biologi Universitas Michigan, Barry OConnor.
Keberadaan chupacabras, juga dikenal sebagai goatsucker, penghisap darah kambing, pertama kali diduga demikian dari tanda-tanda serangan terhadap hewan ternak di Puerto Rico, di mana domba di situ ditemukan mati dengan luka tusukan, benar-benar kehabisan darah. Laporan serupa mulai terkumpul dari lokasi lain di Amerika Latin dan Amerika Serikat. Lalu muncul penampakan binatang jahat, digambarkan variatif sebagai hewan seperti anjing, mirip pengerat atau seperti reptil, dengan moncong yang panjang, taring besar, kasar atau kulit bersisik abu-abu kehijauan dan beraroma jahat. Warga lokal mempercayainya dan membebankan hewan-hewan buas jelek ini sebagai yang bertanggung jawab atas pembunuhan ternak.
Para ilmuwan mempelajari beberapa bangkai chupacabras dan menyimpulkan bahwa monster yang ditakuti itu sebenarnya adalah coyote. Hewan itu tampak mengerikan karena menderita kudis yang sangat ekstrim – suatu kondisi kulit yang disebabkan oleh tungau yang terbenam di bawah kulitnya. OConnor, yang mempelajari tungau penyebab kudis itu, sepakat dan memiliki gagasan mengapa para penyerang kecil mempengaruhi coyote liar sedemikian parah, dan mengubahnya menjadi sesuatu yang kejam.
Para ilmuwan yakin, monster chupacabras yang legendaris itu sebenarnya hanyalah coyote yang menderita kudis sangat parah, seperti bangkai hewan pada gambar di atas. (Kredit: Dan Pence; Universitas Michigan)
Dalam sebuah podcast “Monster Talk” yang baru-baru ini diposting pada website majalah Skeptis, OConnor menjelaskan bahwa tungau yang bertanggung jawab atas hilangnya rambut secara ekstrim, yang terlihat pada “sindrom chupacabras”, adalah jenis spesies Sarcoptes scabiei, yang juga menyebabkan gatal ruam yang dikenal sebagai kudis pada manusia. Kudis manusia merupakan gangguan, tapi biasanya bukan gangguan kesehatan yang serius atau menimbulkan masalah penampilan, sebagian karena tubuh kita sudah hampir gundul dan sebagian karena populasi tungau pada seseorang biasanya adalah relatif kecil – hanya berkisar 20 atau 30 tungau.
Studi-studi evolusi yang dilakukan oleh OConnor beserta mantan mahasiswa pascasarjana, Hans Klompen, yang kini adalah seorang profesor di Universitas Ohio State, menunjukkan bahwa tungau kudis telah hidup bersama kita sepanjang sejarah evolusi kita, memberikan manusia banyak waktu untuk mengembangkan pertahanan. Ketika manusia mulai memelihara hewan, Sarcoptes scabiei menemukan sebuah dunia baru sebagai calon korban. Anjing peliharaan, seperti juga manusia, telah berperan sebagai tuan rumah bagi para kutu ini dan cukup lama berevolusi untuk mampu melawan kudis, tetapi ketika kondisinya menyebar ke anggota keluarga anjing liar – seperti rubah, serigala dan coyote – berhati-hatilah.
“Kapanpun Anda memiliki tuan rumah baru bagi parasit, itu cukup buruk,” kata OConnor, seorang profesor ekologi dan biologi evolusioner serta kurator di Museum Zoologi UM. “Itu bisa banyak menimbulkan kerusakan, dan kematian bisa relatif tinggi karena spesies tuan rumahnya belum punya sejarah evolusi dengan parasit, sehingga belum bisa mengembangkan setiap pertahanan seperti yang kita miliki.”
Pada hewan-hewan malang ini, sejumlah besar tungau menggali hingga ke bawah kulitnya hingga menyebabkan radang dan penebalan kulit. Suplai darah ke folikel rambut terputus, sehingga bulu-bulu bisa berguguran. Khususnya dalam kasus yang buruk, kondisi melemah hewan itu membuka pintu bagi bakteri lain yang menyebabkan infeksi kulit sekunder, terkadang menghasilkan bau yang sangat busuk. Kumpulkan semua kondisi itu menjadi satu, maka yang terbayang di benak Anda adalah sesuatu yang jelek, telanjang, kasar, buruk dan bau: itulah chupacabras.
Apakah infeksi tungau juga mengubah perilaku binatang, mengubah mereka menjadi pembunuh yang haus darah? Tidak juga, tetapi ada penjelasan mengapa mereka mungkin sangat mungkin memangsa ternak kecil seperti domba dan kambing.
“Karena hewan ini sangat lemah, mereka akan memiliki waktu yang sulit untuk berburu,” kata OConnor. “Jadi, mereka mungkin terpaksa menyerang ternak karena itu lebih mudah daripada mengincar kelinci atau rusa.”
Sementara chupacabras telah mencapai status legendaris, hewan liar lainnya pun bisa menderita efek tungau kudis ini, kata OConnor. Di Australia, tungau merupakan pembunuh hewan wombat. “Mereka mungkin memperoleh kutu dari dingo, yang ditularkan dari anjing peliharaan, dan anjing peliharaan memperolehnya dari kita,” katanya.
Dan tungau yang terkait, yang berbahaya, bisa menumpang pula pada tupai untuk penghancuran diri sendiri. Pada tahun-tahun kelulusan di Universitas Cornell, OConnor mengamati tupai yang melemah akibat kudis, jatuh dari pohon. Pengamatan itu mendorong dia melakukan survei informal untuk melihat apakah tupai berkudis juga lebih mungkin dibandingkan dengan tupai sehat yang terbunuh di jalan raya. Penelitiannya menunjukkan bahwa akibat disiksa oleh tungau membuat tupai kurang mahir menghindari mobil.
[faktailmiah.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar